Rabu, 10 September 2014

Percaya deh, Nulis Itu Menyenangkan

Dalam salah sebuah kesempatan kadang ada orang bertanya kepada penulis, “untuk apa sih nulis?” Kalau ada yang bertanya seperti itu, biasanya penulis sangat antusias menjawabnya. Bermacam argumen coba penulis kemukakan tentang pentingnya menulis, tentu saja dari sudut pandang yang berbeda-beda.

Pertama-tama penulis paling suka mengutip pernyataan dari salah seorang pimpinan pondok tempat penulis nyantri dulu. “Kalau kamu ingin berumur panjang, menulislah!” ungkapnya pada suatu ketika. Pada awalnya penulis tidak terlalu paham apa maksud pernyataan itu. Persisnya, apa sih hubungannya antara umur panjang dengan menulis. Bukankah umur itu urusan Tuhan? Tapi kemudian segera penulis mengerti maksudnya. Bahwa seorang yang suka nulis, entah tulisan ilmiah ataupun fiksi, meskipun dia sudah meninggal, orang-orang boleh jadi akan tetap membacanya.

Betapa banyak para penulis zaman dahulu di berbagai bidang ilmu pengetahuan yang seolah masih hidup di tengah-tengah kita karena karya-karyanya masih tetap kita baca sampai saat ini. Kamu yang suka ilmu-ilmu sosial, tentu sering “mengobrol” dengan tokoh-tokoh semacam Karl Marx, Marx Weber, Emile Durkheim dan sebagainya. Kamu-kamu yang gemar dengan dunia filsafat tentu tak asing “bersenda gurau” dengan Plato, Aristoteles, Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali dan lain-lain.

Sementara kamu-kamu yang menjadi penikmat karya-karya sastera, tentu kerap “berakrab ria” dengan karya para sasterawan terkemuka dunia semacam Willian Shakespeare, Ernest Hemingway, Leo Tolstoy dan lain-lain. Di dalam negeri pastilah kamu tidak pernah ketinggalan untuk “mereguk” keindahan goresan pena Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Asrul Sani, Pramudya Ananta Toer, Chairil Anwar dan masih banyak lainnya.

Mereka semua yang telah kembali ke haribaan Tuhan itu, seakan-akan selalu hadir di pikiran dan hati kita sehingga kadang kita tidak sadar bahwa mereka telah tidak ada ada lagi di dunia ini. Itu semua tentu saja karena orang-orang hebat tersebut telah mewariskan karya tulis yang membuatnya tetap “berumur panjang.” Ohya Menulis juga, kalau menurut penulis, merupakan cara untuk mendapatkan kepuasan batin. Bayangkan, betapa senengnya penulis pada saat tulisan penulis, baik yang ilmiah maupun fiksi, dimuat pada salah satu koran atau majalah. Rasanya penulis ingin mengabarkan hal itu pada semua penduduk kampung.

Pasti kamu-kamu juga kalau misalnya tulisannya dimuat akan merasakan hal yang sama. Penulis jamin itu, percaya deh! Apalagi kalau kemudian karya-karya kita dibaca oleh orang-orang, pasti rasa senangnya berlipat-lipat. Mungkin saja orang yang telah membaca tulisan kita itu kemudian memuji dan mengagumi, atau mungkin juga memberi masukan atau bahkan kritik. Tidak apa-apa, hal itu justeru menunjukkan apresiasi orang-orang tersebut atas tulisan kita.

Sekali lagi, di situlah letaknya kepuasan batin. Menulis juga sebenarnya merupakan cara untuk mengekspresikan diri. Lewat tulisan kita sebenarnya berinteraksi dengan semua orang yang membacanya. Orang menjadi tahu siapa kita karena membaca tulisan kita. Menulis, dengan demikian, menunjukkan keberadaan kita. Kalau dulu seorang filsuf Perancis, Rene Descartes, mengatakan “Aku berpikir karena itu Aku ada” (cogito ergo sum), maka bolehlah kita membuat ungkapan sendiri, “Aku menulis karena itu Aku ada.”

Bagi penulis sendiri, menulis malah bisa menjadi semacam obat. Saat kita sedang ditimpa banyak masalah atau dalam bahasa anak sekarang, galau, atau saat kita sedang kesal atau marah terhadap orang atau situasi yang terjadi di sekitar kita, maka menulis mampu melepaskan semua perasaan tidak enak itu. Semua permasalahan itu kita tumpahkan ke dalam tulisan, sehingga pada akhirnya kita merasa lega. Persis, saat orang sedang marah, lalu dia berteriak sekencang-kencangnya, maka perlahan-lahan marahnya reda.

Nah demikian pula dengan menulis. Nyatanya, waktu kamu sedang galau atau kesal, lalu kamu menuliskan perasaan itu di buku harian atau sekarang lebih popular di facebook atau twitter, kamu kan merasa plong setelahnya. Jadi, menulis memang mampu menjadi obat mujarab, bukan? Ada juga orang yang berpandangan, kalau sering nulis, bisa mendatangkan penghasilan besar. Ya, pandangan itu ada benarnya. Bahkan di luar negeri banyak penulis yang mengandalkan hidupnya dari tulisan saja.

Kamu pasti tahu dong siapa JK Rowling. Andai belum tahu pun, pasti kamu sangat mengenal tokoh Harry Potter, baik dalam buku maupun film. Nah, JK Rowling adalah pengarangnya. Ibu rumah tangga yang tadinya menggantungkan hidupnya dari tunjangan sosial saja itu, sekarang telah menjadi salah seorang terkaya di Inggris. Di dalam negeripun banyak penulis yang sukses secara materi. Sebut saja Andrea Hirata penulis novel Laskar Pelangi yang kemudian difilmkan dan mengalami kesuksesan yang luar biasa. Juga ada Habiburrahman El-Shirazi penulis novel Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang sama-sama mencetak sukses baik dalam bentuk buku maupun film.

Masih banyak lagi penulis-penulis kita yang lainnya dan sukses secara materi. Maka, di negeri kita pun sekarang mulai banyak yang menjadikan aktivitas menulis sebagai pekerjaan tetap. Tapi sebagai penulis pemula, baiknya jangan dulu berpikir tentang imbalan materi karena hal itu akan datang dengan sendirinya kalau kita sudah menjadi penulis. Dengan kata lain, jangan jadikan imbalan materi sebagai tujuan utama menulis untuk saat ini.

Yang jauh lebih penting adalah menjadikan aktivitas menulis sebagai kebiasaan (writing habit). Apapun yang terlintas di benak kita, dari hal-hal kecil sampai besar, dari yang remeh temeh sampai yang serius, segeralah tuangkan ke dalam tulisan. Kalau sudah seperti itu, aktivitas menulis pastilah akan menjadi sesuatu yang menyenangkan, percaya deh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar