Rabu, 10 September 2014

Membuat Judul

Judul merupakan kepala tulisan yang biasanya dibaca orang pertama kali. Karena itu, usahakan untuk membuat judul semenarik mungkin sehingga bisa memancing pembaca untuk mengetahui apa isi tulisan tersebut. Ini berlaku untuk semua jenis tulisan, baik fiksi maupun ilmiah; baik dalam bentuk buku maupun makalah atau artikel lepas.

Saya pernah diberitahu teman di penerbitan, ada sebuah buku terjemah yang laris manis (best seller) gara-gara judulnya diubah. Awalnya buku itu diberi judul "relaksasi" disesuaikan dengan aslinya dalam bahasa Inggris (relaxation). Tapi ternyata tidak begitu diminati pembaca atau kurang laku. Kemudian buku itu diberi judul baru "Sehat Tanpa Obat," dan luar biasa hasilnya. Buku itu segera diserbu para pembeli.

Membuat judul tulisan apalagi untuk jenis artikel atau opini di media massa sebaiknya singkat saja. Dua atau tiga kata sudah cukup, kalau pun ditambah bisa dengan kata sambung seperti dan, atau, dan sebagainya. Tulisan saya di sejumlah koran umumnya terdiri dari dua atau tiga kata misalnya "Jokowi Effect" di Koran Sindo, "Menolak Rangkap Jabatan" di Pikiran Rakyat dan "ISIS dan Romantisme Khilafah" di Suara Pembaruan. Dalam dunia sastera kita malah banyak menemukan judul-judul yang lebih singkat lagi, hanya satu kata. Cerpen-cerpen yang ditulis Putu Wijaya banyak yang judulnya satu kata saja. Bahkan sasterawan yang dijuluki presiden penyair Indonesia, Sutarji Calzoum Bahri, pernah membuat sebuah puisi dengan hanya satu kata "pun."

Para novelis muda sekarang juga membuat judul dengan singkat untuk karya-karyanya, misalnya "Laskar Pelangi" (Andrea Hirata), "Ayat-Ayat Cinta" (Habiburahman el-Shirazi), dan lain-lain. Apakah sebuah judul harus dibuat di awal penulisan? Jawabannya tidak selalu. Bisa saja judul dibuat belakangan setelah tulisan selesai secara keseluruhan. Untuk judul memang kita perlu banyak pertimbangan dari berbagai segi seperti yang telah disinggung di atas. Tidak mengapa meski kita sudah punya judul di awal, lalu ketika tulisan sudah selesai judulnya kita ubah lagi secara lebih tepat. Hal seperti biasa terjadi di kalangan para penulis.

Membuat Kerangka

Seperti telah dijelaskan di awal, penulis pemula akan merasakan kesulitan di awal penulisan. Meskipun sudah memiliki ide atau gagasan sebagai bahan utama, tetapi meramunya menjadi sebuah tulisan utuh merupakan kesulitan besar.

Nah, salah satu acara untuk memudahkan penulisan adalah membuat kerangka tulisan. Apa gunanya kerangka tulisan? Pertama, agar penulis lebih fokus pada ide atau gagasan utama yang ingin disampaikan. Tanpa kerangka penulisan, seringkali penulis, khususnya pemula melebar ke mana-mana. Kadang sangat "bernafsu" untuk memasukkan berbagai hal yang dianggap penting sehingga tidak tampak mana ide utamanya. Kedua, dengan adanya kerangka tulisan secara otomatis kita tertuntun dalam sistematika penyusunan tulisan. Tidak jarang saat menulis kita sering melompat-lompat atau berputar-putar. Yang sudah ditulis di bagian awal kadang diungkapkan lagi di bagian tengah atau akhir.

Itu semua karena tidak ada kerangka tulisan. Apa itu kerangka tulisan? Dan bagaimana membuatnya? Secara sederhana kerangka tulisan terdiri dari pendahuluan, isi dan penutup. Namun, kita bisa membuatnya lebih terperinci lagi dengan memberikan pointer-pointer terutama pada bagian isi. Misalnya, kita akan membuat sebuah tulisan ilmiah tentang "Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia."

Mari kita coba buat kerangka tulisannya seperti berikut ini. Pada pendahuluan kita bisa ungkapan masalah parahnya praktik korupsi di Indonesia, bisa disinggung juga di sini upaya pemberantasannya namun ternyata belum maksimal. Pada bagian isi yang merupakan inti tulisan kita bisa paparkan di sini mengapa praktik korupsi di negeri ini sulit diberantas, apa saja faktor-faktornya serta bagaimana mengatasinya dari berbaga segi.

Dan di bagian penutup kita bisa tegaskan upaya yang harus terus menerus dilakukan oleh berbagai pihak untuk tidak saja memberantas tetapi yang terpenting mencegah tindakan korupsi.

Memulai Menulis

"Aduh, kok salah melulu sih!" teriak Budi sambil meremas-remas kertas dengan gemasnya dan kemudian melemparkannya ke tong sampah.

Di tempat pembuangan itu sudah bergunung-gunung robekan kertas yang telah dibuang Budi. Entah untuk yang ke berapa kalinya remasan-remasan kertas itu dilemparkannya ke tong sampah yang kadang disertai teriakan kesal.

Demikianlah pengalam Budi saat pertama kali belajar membuat tulisan. Ketika itu belum ada komputer baik PC apalagi laptop, yang ada hanya mesin tik. Budi pun akrab sekali dengan mesin tik karena hampir setiap malam ia bergaul dengannya. "Tak tok tak tok," suara mesin tik memecah keheningan malam.

Dengan hanya bermodalkan dua jari telunjuknya --meski sudah pernah kursus mengetik dua belas jari tetap saja hanya dua jari itu yang piawai ia gunakan-- Budi mencoba menari-menari merangkai tulisan. Seringkali Budi tertegun cukup lama di depan mesin tik. Ia tidak tahu harus mengetik huruf apa, menulis kata apa atau menyusun kalimat apa untuk pertama kali. Jika pun kemudian berhasil melakukannya, pas membacanya lagi ia merasa tidak puas. Maka, segera ia mengeluarkan kertas dari mesin tik, merobeknya dan melemparkannya ke tong sampah. Ada juga kertas yang bernasib lebih baik karena tidak sampai dibuang tetapi cukup diolesi tipex bagian yang salahnya.

Tapi itu pengalaman Budi puluhan tahun silam saat baru pertama kali belajar tulisan dan menggunakan mesin tik. Kini ia sudah menjadi penulis handal, karyanya di bidang tulisan ilmiah sama baiknya dengan fiksi. Sejak kecil ia memang bercita-cita menjadi seorang penulis. Jika dulu Budi perlu waktu lama untuk membuat hanya satu paragraf, sekarang untuk menyelesaikan satu tulisan lengkap pun hanya butuh waktu singkat. Ia juga tak perlu repot-repot merobek-robek kertas, karena laptop atau tab selalu setia menemaninya.

Budi sudah menemukan dunianya di mana ia bisa berasyik ma'syuk. Pengalaman kerja keras Budi dan jatuh bangunnya untuk menekuni dunia tulis menulis tentu akan dialami oleh setiap penulis pemula. Ya, setiap permulaan memang kerap menghadirkan beragam kesulitan (all beginnings are difficult). Tetapi kita tidak boleh menyerah karenanya, karena mau tidak mau kita harus "mulai." Beribu teori, sejuta saran dan selaksa petuah tiadalah gunanya kalau kita tidak pernah mulai menulis. Jadi, tunggu apalagi?

Menemukan Ide untuk Tulisan

Ide atau gagasan merupakan bahan utama tulisan. Bagaimana kita bisa menulis kalau belum ada ide di kepala kita. Ibarat orang mau bangun rumah tapi belum punya bahan-bahan utamanya, tentu ia tidak akan bisa melakukannya. Paling jauh mengkhayalkannya saja.

Pertanyaannya, bagaimana kita mendapatkan ide atau gagasan tersebut? Kalau bahan-bahan untuk membangun rumah dengan mudah didapatkan. Tinggal datang ke toko material, semua bahan telah tersedia mulai dari A sampai Z.

Nah, untuk mendapatkan ide atau gagasan kita tidak dapat membelinya di toko manapun, bukan? Lalu bagaimana mendapatkannya dan tempat atau sumbernya di mana saja? Ada tiga cara mudah untuk menemukan ide: membaca/menonton/mendengar; mengamati (observasi) dan diskusi (tukar pendapat).

Bagaimana kita mendapatkan dari cara-cara tersebut secara mangkus (efektif) dan sangkil (efisien)? Berikut ini penjelasannya. Pertama,membaca/menonton/mendengar Ada satu pepatah dalam bahasa Arab yang sangat menarik dalam konteks ini. "Al-ilmu ka ash-shaidi, qayyid shuyudaka bi al-hibali watdiqatan, wa min al-hamaqati an tashida ghazalatan wa tatrukaha baina al-khalaiqi thaliqatan." (Ilmu itu seperti buruan, ikatlah buruanmu dengan tali kuat-kuat, adalah sebuah kebodohan jika engkau menangkap seekor kijang, lalu membiarkannya bebas (tidak diikat) di antara makhluk- makhluk lain).

Demikian pula kalau kamu membaca sesuatu. Ikatlah hasil bacaanmu kuat-kuat. Dengan cara apa mengikatnya? Dengan tulisan. Ya, dengan tulisan. Artinya, setiap kali kamu selesai membaca, cobalah menuliskan hasil bacaan kamu itu biar benar-benar menancap kuat dalam ingatanmu. Sebaliknya, jika kamu hanya membaca saja tanpa mengikat hasil bacaan itu dengan menuliskannya, mudah sekali hilang dari ingatanmu.

Memang saat membaca pemahaman kita akan timbul, tapi segera hilang atau berkurang begitu kita pindah ke bahan bacaan lain, dan demikian seterusnya. Hal ini akan terhindar kalau kita mengikatnya dengan tulisan. Nah, bagi penulis, membaca merupakan keharusan mutlak (conditio sine qua non), karena dengan membaca akan banyak ide atau gagasan yang ditemukan. Apapun yang kita baca: buku, majalah, surat kabar, media online dan sebagai adalah sumber yang dapat mengalirkan arus ide. Dengan demikian, seorang penulis pastilah seorang pembaca, tetapi pembaca tidak mesti seorang penulis.

Percaya deh, Nulis Itu Menyenangkan

Dalam salah sebuah kesempatan kadang ada orang bertanya kepada penulis, “untuk apa sih nulis?” Kalau ada yang bertanya seperti itu, biasanya penulis sangat antusias menjawabnya. Bermacam argumen coba penulis kemukakan tentang pentingnya menulis, tentu saja dari sudut pandang yang berbeda-beda.

Pertama-tama penulis paling suka mengutip pernyataan dari salah seorang pimpinan pondok tempat penulis nyantri dulu. “Kalau kamu ingin berumur panjang, menulislah!” ungkapnya pada suatu ketika. Pada awalnya penulis tidak terlalu paham apa maksud pernyataan itu. Persisnya, apa sih hubungannya antara umur panjang dengan menulis. Bukankah umur itu urusan Tuhan? Tapi kemudian segera penulis mengerti maksudnya. Bahwa seorang yang suka nulis, entah tulisan ilmiah ataupun fiksi, meskipun dia sudah meninggal, orang-orang boleh jadi akan tetap membacanya.

Betapa banyak para penulis zaman dahulu di berbagai bidang ilmu pengetahuan yang seolah masih hidup di tengah-tengah kita karena karya-karyanya masih tetap kita baca sampai saat ini. Kamu yang suka ilmu-ilmu sosial, tentu sering “mengobrol” dengan tokoh-tokoh semacam Karl Marx, Marx Weber, Emile Durkheim dan sebagainya. Kamu-kamu yang gemar dengan dunia filsafat tentu tak asing “bersenda gurau” dengan Plato, Aristoteles, Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali dan lain-lain.

Sementara kamu-kamu yang menjadi penikmat karya-karya sastera, tentu kerap “berakrab ria” dengan karya para sasterawan terkemuka dunia semacam Willian Shakespeare, Ernest Hemingway, Leo Tolstoy dan lain-lain. Di dalam negeri pastilah kamu tidak pernah ketinggalan untuk “mereguk” keindahan goresan pena Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Asrul Sani, Pramudya Ananta Toer, Chairil Anwar dan masih banyak lainnya.

Mereka semua yang telah kembali ke haribaan Tuhan itu, seakan-akan selalu hadir di pikiran dan hati kita sehingga kadang kita tidak sadar bahwa mereka telah tidak ada ada lagi di dunia ini. Itu semua tentu saja karena orang-orang hebat tersebut telah mewariskan karya tulis yang membuatnya tetap “berumur panjang.” Ohya Menulis juga, kalau menurut penulis, merupakan cara untuk mendapatkan kepuasan batin. Bayangkan, betapa senengnya penulis pada saat tulisan penulis, baik yang ilmiah maupun fiksi, dimuat pada salah satu koran atau majalah. Rasanya penulis ingin mengabarkan hal itu pada semua penduduk kampung.

Pasti kamu-kamu juga kalau misalnya tulisannya dimuat akan merasakan hal yang sama. Penulis jamin itu, percaya deh! Apalagi kalau kemudian karya-karya kita dibaca oleh orang-orang, pasti rasa senangnya berlipat-lipat. Mungkin saja orang yang telah membaca tulisan kita itu kemudian memuji dan mengagumi, atau mungkin juga memberi masukan atau bahkan kritik. Tidak apa-apa, hal itu justeru menunjukkan apresiasi orang-orang tersebut atas tulisan kita.

Sekali lagi, di situlah letaknya kepuasan batin. Menulis juga sebenarnya merupakan cara untuk mengekspresikan diri. Lewat tulisan kita sebenarnya berinteraksi dengan semua orang yang membacanya. Orang menjadi tahu siapa kita karena membaca tulisan kita. Menulis, dengan demikian, menunjukkan keberadaan kita. Kalau dulu seorang filsuf Perancis, Rene Descartes, mengatakan “Aku berpikir karena itu Aku ada” (cogito ergo sum), maka bolehlah kita membuat ungkapan sendiri, “Aku menulis karena itu Aku ada.”

Bagi penulis sendiri, menulis malah bisa menjadi semacam obat. Saat kita sedang ditimpa banyak masalah atau dalam bahasa anak sekarang, galau, atau saat kita sedang kesal atau marah terhadap orang atau situasi yang terjadi di sekitar kita, maka menulis mampu melepaskan semua perasaan tidak enak itu. Semua permasalahan itu kita tumpahkan ke dalam tulisan, sehingga pada akhirnya kita merasa lega. Persis, saat orang sedang marah, lalu dia berteriak sekencang-kencangnya, maka perlahan-lahan marahnya reda.

Nah demikian pula dengan menulis. Nyatanya, waktu kamu sedang galau atau kesal, lalu kamu menuliskan perasaan itu di buku harian atau sekarang lebih popular di facebook atau twitter, kamu kan merasa plong setelahnya. Jadi, menulis memang mampu menjadi obat mujarab, bukan? Ada juga orang yang berpandangan, kalau sering nulis, bisa mendatangkan penghasilan besar. Ya, pandangan itu ada benarnya. Bahkan di luar negeri banyak penulis yang mengandalkan hidupnya dari tulisan saja.

Kamu pasti tahu dong siapa JK Rowling. Andai belum tahu pun, pasti kamu sangat mengenal tokoh Harry Potter, baik dalam buku maupun film. Nah, JK Rowling adalah pengarangnya. Ibu rumah tangga yang tadinya menggantungkan hidupnya dari tunjangan sosial saja itu, sekarang telah menjadi salah seorang terkaya di Inggris. Di dalam negeripun banyak penulis yang sukses secara materi. Sebut saja Andrea Hirata penulis novel Laskar Pelangi yang kemudian difilmkan dan mengalami kesuksesan yang luar biasa. Juga ada Habiburrahman El-Shirazi penulis novel Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang sama-sama mencetak sukses baik dalam bentuk buku maupun film.

Masih banyak lagi penulis-penulis kita yang lainnya dan sukses secara materi. Maka, di negeri kita pun sekarang mulai banyak yang menjadikan aktivitas menulis sebagai pekerjaan tetap. Tapi sebagai penulis pemula, baiknya jangan dulu berpikir tentang imbalan materi karena hal itu akan datang dengan sendirinya kalau kita sudah menjadi penulis. Dengan kata lain, jangan jadikan imbalan materi sebagai tujuan utama menulis untuk saat ini.

Yang jauh lebih penting adalah menjadikan aktivitas menulis sebagai kebiasaan (writing habit). Apapun yang terlintas di benak kita, dari hal-hal kecil sampai besar, dari yang remeh temeh sampai yang serius, segeralah tuangkan ke dalam tulisan. Kalau sudah seperti itu, aktivitas menulis pastilah akan menjadi sesuatu yang menyenangkan, percaya deh!